Optimistis dengan Pendidikan Perguruan Tinggi Tanah Air
Arli Aditya Parikesit - detikNews
Jakarta - Beberapa bulan lalu, saya berdiskusi dengan seorang dosen senior sebuah perguruan tinggi top Tanah Air yang sudah sangat paham dengan kondisi pendidikan kita. Menurut dia, kondisi lapangan kerja kita tidaklah separah yang dibayangkan oleh sebagian pengamat. Ada masih banyak orang Indonesia, yang bahkan setelah mendapatkan gelardi negara maju, mereka dengan senang hati memilih untuk pulang ke Tanah Air. Alasan mereka sangat beragam, namun jelas bahwa mereka jauh lebih menyukai lingkungan kerja di Tanah Air, daripada di negara maju.
Faktornya adalah tantangan dan risiko, itulah yang mereka cari. Mereka sudah tidak tertarik dengan kemapanan negara maju, karena sudah tidak ada risiko yang bisa 'dijinakkan'. Mereka ingin ada risiko dan tantangan, karena hanya itulah yang bisa sebabkan mereka melangkah maju.
Tak mengherankan, setelah bekerja sekian tahun di perusahaan, mereka langsung keluar dan mempersiapkan bisnis sendiri. Sebuah fakta menarik, dan bisa jadi rujukan, ditengah kondisi memprihatinkan terjadinya braindrain ke luar negeri (LN). Dapatkah rujukan ini mengubah braindrain menjadi braingain seperti contoh yang diberikan sang dosen senior tersebut?
Keluhan Mengenai Pendidikan Tinggi
Sudah sering terdengar berbagai keluhan mengenai sistem pendidikan tinggi kita yang langsung membandingkan dengan sistim di LN, yang dianggap lebih superior dalam segala hal. Mulai dari keharusan membayar SPP/ berbagai iuran yang terlalu tinggi, Absennya program teaching/ research assistant seperti di LN, lamanya waktu yang diperlukan seorang mahasiswa untuk selesaikan program doktor (umur 30 belum menjadi doktor), lamanya waktu yang diperlukan untuk menjadi guru besar (umur 40 belum menjadi guru besar), Program Pascasarjana hanyalah menjadi 'sapi perahan' dosen, dan mudahnya mencari pekerjaan akademis di LN. Juga berbagai keluhan lain. Hal-hal inilah yang menjadi raison d'etre. Namun, apakah semua keluhan ini memang faktanya demikian?
Mengenai keharusan membayar SPP/ berbagai iuran yang terlalu tinggi, hal ini adalah pertanyaan besar. Sebab tersedia banyak sekali beasiswa untuk jenjang S1, S2, ataupun S3. Jika kita ingin menggali informasi lebih mendalam, maka jalan ke arah itu akan bisa kita gapai. Bagi jenjang S1 misalnya, ada beasiswa Supersemar dan lainnya. Jenjang S2 ada beasiswa Supersemar. Sementara, untuk jenjang S3 ada beasiswa Habibie Center, misalnya.
Hanya, diperlukan 'keuletan ekstra' memang untuk mendapatkan beasiswa ini. Namun melihat ada banyak mahasiswa yang bisa memperoleh akses ke beasiswa-beasiswa tersebut, rasanya tidak ada alasan untuk menjadi pesimis. Mahasiswa-mahasiswa yang dapat beasiswa tersebut, bukanlah mereka yang memiliki koneksi atau bagaimana, namun orang-orang biasa yang memang pekerja keras. Poinnya adalah, mereka pun bisa, maka dengan usaha pun kita semua pun juga bisa.
Lalu poin mengenai absennya program teaching/ research assistant seperti di LN. Apakah hal ini benar? Saya jelaskan dulu, makudnya program teaching/ research assistant adalah diterimanya seorang mahasiswa S2 dan S3 kedalam suatu kontrak kerja, yang biasanya diberikan beban kerja melakukan penelitian atau mengajar. Hal ini sudah sangat umum di LN, jadi mahasiswa pascasarjana di LN memang berstatus sebagai pekerja kontrak. Jadi, mereka tidak perlu memikirkan mengenai SPP atau
biaya penelitian, dan tinggal bekerja saja. Namun pertanyaannya, apakah di Indonesia sama sekali tidak ada program seperti ini? Jawabannya adalah tidak demikian. Negara kita pun juga sudah memiliki program teaching/ research assistant, dan beberapa perguruan tinggi top kita sudah menyediakan program seperti ini, terutama untuk ilmu alam atau engineering. Hanya, memang diperlukan penggalian informasi lebih lanjut untuk memperolehnya, namun dengan keuletan, maka informasi ini akan dengan mudah diperoleh.
Lalu poin bahwa terlalu lamanya pendidikan doktor dan jenjang menuju guru besar di tanah air juga tidak sepenuhnya benar. Pendidikan Tinggi kita sudah banyak menghasilkan doktor-doktor dalam usia muda, yang akhirnya mengabdi di berbagai instansi. Sementara, Indonesia pun juga sudah memiliki guru besar dalam usia muda. Sebut saja Prof Eko Prasodjo dari FISIP-UI, Prof Firmansyah dari FE-UI, Prof Ismunandar dari Kimia ITB, dan banyak lagi lainnya. Ketiga guru besar tersebut menjadi profesor di usia sebelum 40 tahun, dan menjadi guru besar karena kualitas kompetensi risetnya.
Mengenai poin, bahwa program pascasarjana hanya menjadi 'sapi perahan' dosen-dosen kita, hal ini jelas tidak benar. Sudah dijelaskan diatas, bahwa sudah ada program teaching/ research assistant di beberapa perguruan tinggi tanah air, jadi otomatis dosen PT kita pun mendapat imbalan dari kualitas risetnya. Jika memang ada biaya yang harus dibayarkan ke dosen untuk setiap kelas yang dihadiri pada kuliah pascasarjana, kalau boleh jujur komponen biaya tersebut masih jauhlah lebih rendah daripada seminar-seminar yang diadakan oleh motivator bisnis. Jadi mengungkit-ungkit hal tersebut jelaslah sangat berlebihan, dan memberi kesan bahwa 'dosen mengambil uang mahasiswa'.
Suatu hal yang tidak sepenuhnya benar, karena dosen tidak mendapatkan sebanyak yang dituduhkan. Jika adakan perbandingan, jangan bandingkan dengan imbalan dosen di LN, namun lakukan perbandingan dengan kondisi di lokal. Memang masalah uang adalah masalah peka, namun membesar-besarkan hal kecil jelas sangatlah tidak bijak. Tidak mungkin dosen di prodi apa pun menjadi kaya-raya, hanya dengan imbalan mengajar di pascasarjana. Jika ada dosen yang menjadi kaya-raya, itu bisa dipastikan karena yang bersangkutan menjadi konsultan di perusahaan atau industri, dan bukan karena 'mengambil uang mahasiswa'.
Poin terakhir, adalah mudahnya mencari pekerjaan akademis di luar negeri. Hal ini juga tidak sepenuhnya benar. Mark Taylor pernah menulis di Nature News, bahwa pendidikan doktor di LN juga mengalami krisis. Tidak hanya di Amerika Serikat, namun di seluruh negara industri maju. Menurut Taylor, krisis ini terjadi karena para doktor berbondong-bondong untuk melamar posisi 'tenure track' (posisi permanen) pada perguruan tinggi, yang akan diarahkan ke posisi guru besar.
Masalahnya, 'Tenure Track position' itu jumlahnya terlalu terbatas, dan jelas tidak semua pelamar akan diterima. Hal ini juga tak lepas dari spesialisasi pada program doktor, yang menyebabkan seorang doktor hanya bisa melakukan satu pekerjaan spesialis tertentu. Saran dari Taylor, jelas supaya program doktor lebih multi-disipliner, sehingga bisa fleksibel menerima berbagai macam pekerjaan. Juga perlu ditekankan, bahwa doktor tidak harus bekerja di akademik. Industri strategis kita pun juga memerlukan doktor, dan ini terbukti ada doktor-doktor yang bekerja di industri farmasi/ bioteknologi kita. Gagal bekerja di akademis, bukanlah berarti 'bodoh', namun bisa jadi berarti tempat lain menjanjikan rezeki yang lebih baik.
Apakah Cukup Kita Berteriak-teriak?
Ini satu hal yang sangat kurang ditekankan, yaitu membangun entrepreneurship. Selalu dikeluhkan, bahwa biaya pendidikan kita terlalu tinggi, dan sangat memberatkan. Nah, jika demikian, mengapa tidak kita giatkan entrepreneurship, supaya bisa menutupi biaya mahal tersebut? Banyak orang yang melakukannya, mereka berwiraswasta, dan sukses membiayai anak-anak mereka untuk kuliah di kampus-kampus terbaik di negeri kita. Alasan 'tidak semua orang berbakat wiraswasta' adalah alasan yang terlalu dicari-cari, dan pada dasarnya hanyalah pembenaran untuk tidak melakukan perubahan.
Bukalah mata, bahwa hanya dengan menggalakkan wirausahalah, maka itu memberikan solusi bagi masalah pendidikan kita. Saya berikan contoh, bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang saudagar. Jadi menjadi saudagar, jika semua untuk niat yang mulia, jelas bukan sesuatu yang salah. Apalagi jika niat tersebut untuk membantu anak kita sendiri sekolah setinggi mungkin. Paradigma, bahwa 'hanya orang matre saja yang menjadi pengusaha' haruslah dikikis, karena jelas ini sangat keliru. Nabi Muhammad SAW jelas sangat jauh dari sikap matre.
Tanpa banyak diketahui rekan-rekan di LN, sebenarnya birokrasi kita sudah mengalami reformasi habis-habisan. Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, namun rekrutmen PNS sudah mulai profesional, dan memperhatikan kompetensi. Oleh karena itu, dinas kita sudah diisi oleh pegawai yang lebih berkualitas, dan banyak yang sudah master atau doktor dari universitas yang bagus. Walau masih banyak kekurangan sana-sini, namun kondisinya sudah jauh lebih baik daripada 10 tahun yang lalu. Salah satu terobosoan yang mereka lakukan adalah kerja samadengan Jerman, dengan
program 'debt swap'. Program ini bertujuan mencetak 5.000 doktor kita di Universitas Jerman dalam waktu 10 tahun, dalam rangka meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita. Kedepannya, diharapkan program ini membuat universitas di Indonesia akan mampu memproduksi doktor-doktornya secara mandiri.
Kita juga memerlukan solusi politik. Daripada kita 'teriak-teriak' tanpa kasih solusi, ada baiknya kita mengawasi legislatif kita secara lebih baik, terutama pada komisi yang membawahi bidang pendidikan. Pengawasan itu bisa via LSM, lewat media/ pers, atau bisa juga dengan terjun langsung ke partai politik. Saya melihat, ada beberapa partai politik lokal yang bisa diteladani, karena mereka 'menerjunkan' doktor-doktor ke dunia politik, dalam rangka memperbaiki berbagai masalah dalam pendidikan kita. Hal ini tidak ada salahnya, dan sah-sah saja. Jerman bisa menjadi contoh, karena banyak yang berkualifikasi doktor, menjadi anggota parlemen (bundestag).
Bukan 'right or wrong, it's my country', atau sok menjadi nasionalis, namun hanya mencoba untuk obyektif. Pendidikan tinggi kita jelas memiliki banyak kekurangan. Namun menanggapinya dengan 'teriak-teriak', dan tidak memberi kontribusi positif untuk perbaikan, jelas tidak akan membantu apa pun. Di tengah semakin banyaknya keluhan dan celaan terhadap pendidikan tinggi kita, saya masih tetaplah optimis dengan dunia kampus kita, dan lebih memilih mencari solusi daripada 'teriak-teriak'. Saya percaya, jika kita semua bekerjasama untuk menyelesaikan berbagai masalah
ini, tanpa perlu 'teriak-teriak', maka ada harapan braindrain tersebut kita ubah menjadi braingain.
*) Arli Aditya Parikesit,M.Si adalah kandidat Doktor bidang Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; peneliti di Departemen Kimia UI; dan Vice Editor-in-chief Netsains.com. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_ap di twitter.
Optimistic with Homeland College Education
Arli Aditya Parikesit - detikNews
Jakarta - A few months ago, I discussed with a senior faculty member of a country's top universities are already very familiar with the condition of our education. According to him, our employment conditions are not as bad as imagined by some observers. There are still many Indonesian people, who even after getting gelardi developed countries, they are happy with choosing to return to the Fatherland. The reason they are so diverse, it is clear that they are much more like the working environment in the country, than in developed countries.
Factor is the challenge and risk, that is what they seek. They are not interested in the reliability of the developed countries, because there is no risk that can be 'tamed'. They want no risk and challenge, because that is all you'll catch them stepped forward.
Not surprisingly, after working many years at the company, they immediately go out and prepare your own business. An interesting fact, and could be a referral, amid appalling condition of braindrain abroad (LN). Can this reference be changed braindrain braingain like the example given is the senior lecturer?
Complaints About Higher Education
've Often heard many complaints about our system of higher education that directly compare with the system in LN, which is considered more superior in every respect. Starting from having to pay tuition / range fees are too high, Absence of programs teaching / research assistant as in LN, the length of time it takes a student to complete the doctoral program (age 30 has not been a doctor), the length of time it takes to be a great teacher (age 40 has not become a professor), Graduate Program is a 'cash cow' lecturer, and easy to find academic jobs in LN. Also various other complaints. The things that is the raison d'etre. However, whether all these complaints are in fact so?
About having to pay tuition / range fees are too high, this is a big question. Because so many scholarships available for the level of S1, S2, or S3. If we want to dig deeper, then the path in that direction we will be able to reach. For example S1 level, there are scholarships and other Supersemar. Level S2 there Supersemar scholarship. Meanwhile, there are scholarships to level S3 Habibie Center, for example.
Only, it is necessary 'extra oomph' is to get this scholarship. But see there are many students who can gain access to the scholarship-the scholarship, it seems there is no reason to be pessimistic. Students who can scholarship, not those who have connections or how, but ordinary people who are hard workers. The point is, they can, with effort even we all could get.
Then points on the absence of a program teaching / research assistant as in LN. Is this true? I explained before, makudnya program teaching / research assistant is a student receives S2 and S3 into an employment contract, which is usually given the workload of doing research or teaching. It is already very common in the LN, a graduate student in the LN is the status of contract workers. So, they do not need to think about the SPP or research costs, and stay working alone. But the question is, whether in Indonesia, there is absolutely no program like this? The answer is not so. Our country was also already have a program teaching / research assistant, and some of our top universities have already provided a program like this, especially for the natural sciences or engineering. Only, indeed necessary excavation more information to get it, but with perseverance, then this information will be easily obtained.
Then the points that are too long and the ladder toward doctoral education professor at the ground water is also not entirely correct. Higher Education we have a lot to produce doctors at a young age, who eventually served in various agencies. Meanwhile, Indonesia was also already have a great teacher at a young age. Call it Prof. Eko Prasodjo from FISIP-UI, Prof. Firman from FE-UI, Prof. of Chemistry Ismunandar ITB, and many others. These three major teacher was a professor at the age before 40 years, and became a great teacher because of the quality of his research competence.
Regarding the points, that the graduate program is only a 'cash cow' our lecturers, it is obviously not true. Already described above, that there is already teaching / research assistant at several universities homeland, so we were automatically lecturer Page rewarded from quality research. If indeed there is a cost to be paid to the lecturer for each class who attended the college graduate, I might honestly Far components that cost is still lower than the seminars held by business motivators. So bob up and down it is clear very excessive, and suggests that 'teachers take student money. "
One thing that is not entirely correct, because the lecturers do not get as much as alleged. If you invent a comparison, do not compare with the rewards lecturers in LN, but do the comparison with the local conditions. It's money problems are sensitive issues, but to exaggerate small things very clearly not wise. Prodi is not possible Lecturer in whatever became wealthy, only in exchange for teaching at the graduate. If there are lecturers who become wealthy, it can be ascertained as a consultant at the respective company or industry, and not because of 'taking the money of students'.
The last point, it is easy to find academic jobs overseas. It is also not entirely correct. Mark Taylor once wrote in Nature News, that doctoral education in the State are also in crisis. Not only in the United States, but in all advanced industrial countries. According to Taylor, this crisis happened because the doctors in droves to apply for positions 'tenure track' (permanent position) at the college, which will be directed to a position of great teachers.
The problem is, 'Tenure Track position' that there's too limited, and certainly not all applicants will be accepted. It is also not free of specialization in the doctoral program, leading to a doctoral degree can only do one job a particular specialist. Advice from Taylor, it is clear that the doctoral program is more multi-disciplinary, flexible so it can accept a variety of jobs. Also it should be emphasized, that the doctor does not have to work on academics. Strategic industry we also need a doctorate, and this proved to have doctors who worked in the pharmaceutical industry / biotechnology us. Failure to work in academia, does not mean 'stupid', but might mean other places promise a better livelihood.
Is Enough We Yelling and shouting?
It's one thing that is less stressed, ie to develop entrepreneurship. Always complained, that the cost of our education is too high, and very burdensome. Well, if so, why do not we giatkan entrepreneurship, in order to cover the cost of these expensive? Many people who do it, they are entrepreneurial, and successful finance their children to college on the best campuses in our country. The reason 'not everyone talented entrepreneur' is the reason that too sought after, and basically just a justification for not making changes.
Open your eyes, that only by encouraging wirausahalah, then it provides a solution to our educational problems. I give an example, that the Prophet Muhammad himself was a merchant. So a merchant, if all for a noble intention, certainly not something that is wrong. Moreover, if the intention is to help our own children as high school as possible. Paradigm, that 'only those who become entrepreneurs matre' must be scrapped, because obviously this is very wrong. Prophet Muhammad clearly very far from being matre.
Without the little-known counterparts in the LN, in fact we have experienced bureaucratic reform badly. Although there are still many shortcomings here and there, but the recruitment of civil servants have started a professional, and attention to competence. Therefore, our office has been filled by more qualified personnel, and many have master's or doctoral degree from a good university. Although there are still many shortcomings here and there, but his condition was much better than 10 years ago. One terobosoan they do is work equal to Germany, with program 'debt swap'. The program aims we printed 5,000 doctorate at the University of Germany in 10 years, in order to improve the quality of our universities. In the future, this program is expected to make a university in Indonesia will be able to produce doctoral-doctoral independently.
We also need a political solution. Instead we are 'screaming' without love a solution, it helps us control our legislature is better, especially on the commission that oversees education. Supervision can be via NGOs, through the media / press, or can also go directly to political parties. I see, there are some local political parties that could follow, because they are 'deployed' doctors into politics, in order to fix various problems in our education. This was not hurt, and legitimate. Germany can be an example, because many qualified doctors, a member of parliament (Bundestag).
Not 'right or wrong, it's my country', or pretentious to be nationalist, but just try to be objective. Our higher education clearly has many shortcomings. However responded with a 'screaming', and do not give a positive contribution to the improvement, it certainly will not help anything. Amid the increasing number of complaints and denunciation of our higher education, I still remain optimistic about the world of our campus, and prefers to find solutions rather than 'shouting'. I believe, if we all work together to solve various problems This, without the need to 'shout', then there is hope that we change braindrain become braingain.
*) Arli Aditya Parikesit, M. Si is a doctoral field of Bioinformatics from the University of Leipzig, Germany; researcher at the UI Chemistry Department, and Vice Editor-in-chief Netsains.com. He can be contacted through the twitter account @ arli_ap.
Arli Aditya Parikesit - detikNews
Jakarta - Beberapa bulan lalu, saya berdiskusi dengan seorang dosen senior sebuah perguruan tinggi top Tanah Air yang sudah sangat paham dengan kondisi pendidikan kita. Menurut dia, kondisi lapangan kerja kita tidaklah separah yang dibayangkan oleh sebagian pengamat. Ada masih banyak orang Indonesia, yang bahkan setelah mendapatkan gelardi negara maju, mereka dengan senang hati memilih untuk pulang ke Tanah Air. Alasan mereka sangat beragam, namun jelas bahwa mereka jauh lebih menyukai lingkungan kerja di Tanah Air, daripada di negara maju.
Faktornya adalah tantangan dan risiko, itulah yang mereka cari. Mereka sudah tidak tertarik dengan kemapanan negara maju, karena sudah tidak ada risiko yang bisa 'dijinakkan'. Mereka ingin ada risiko dan tantangan, karena hanya itulah yang bisa sebabkan mereka melangkah maju.
Tak mengherankan, setelah bekerja sekian tahun di perusahaan, mereka langsung keluar dan mempersiapkan bisnis sendiri. Sebuah fakta menarik, dan bisa jadi rujukan, ditengah kondisi memprihatinkan terjadinya braindrain ke luar negeri (LN). Dapatkah rujukan ini mengubah braindrain menjadi braingain seperti contoh yang diberikan sang dosen senior tersebut?
Keluhan Mengenai Pendidikan Tinggi
Sudah sering terdengar berbagai keluhan mengenai sistem pendidikan tinggi kita yang langsung membandingkan dengan sistim di LN, yang dianggap lebih superior dalam segala hal. Mulai dari keharusan membayar SPP/ berbagai iuran yang terlalu tinggi, Absennya program teaching/ research assistant seperti di LN, lamanya waktu yang diperlukan seorang mahasiswa untuk selesaikan program doktor (umur 30 belum menjadi doktor), lamanya waktu yang diperlukan untuk menjadi guru besar (umur 40 belum menjadi guru besar), Program Pascasarjana hanyalah menjadi 'sapi perahan' dosen, dan mudahnya mencari pekerjaan akademis di LN. Juga berbagai keluhan lain. Hal-hal inilah yang menjadi raison d'etre. Namun, apakah semua keluhan ini memang faktanya demikian?
Mengenai keharusan membayar SPP/ berbagai iuran yang terlalu tinggi, hal ini adalah pertanyaan besar. Sebab tersedia banyak sekali beasiswa untuk jenjang S1, S2, ataupun S3. Jika kita ingin menggali informasi lebih mendalam, maka jalan ke arah itu akan bisa kita gapai. Bagi jenjang S1 misalnya, ada beasiswa Supersemar dan lainnya. Jenjang S2 ada beasiswa Supersemar. Sementara, untuk jenjang S3 ada beasiswa Habibie Center, misalnya.
Hanya, diperlukan 'keuletan ekstra' memang untuk mendapatkan beasiswa ini. Namun melihat ada banyak mahasiswa yang bisa memperoleh akses ke beasiswa-beasiswa tersebut, rasanya tidak ada alasan untuk menjadi pesimis. Mahasiswa-mahasiswa yang dapat beasiswa tersebut, bukanlah mereka yang memiliki koneksi atau bagaimana, namun orang-orang biasa yang memang pekerja keras. Poinnya adalah, mereka pun bisa, maka dengan usaha pun kita semua pun juga bisa.
Lalu poin mengenai absennya program teaching/ research assistant seperti di LN. Apakah hal ini benar? Saya jelaskan dulu, makudnya program teaching/ research assistant adalah diterimanya seorang mahasiswa S2 dan S3 kedalam suatu kontrak kerja, yang biasanya diberikan beban kerja melakukan penelitian atau mengajar. Hal ini sudah sangat umum di LN, jadi mahasiswa pascasarjana di LN memang berstatus sebagai pekerja kontrak. Jadi, mereka tidak perlu memikirkan mengenai SPP atau
biaya penelitian, dan tinggal bekerja saja. Namun pertanyaannya, apakah di Indonesia sama sekali tidak ada program seperti ini? Jawabannya adalah tidak demikian. Negara kita pun juga sudah memiliki program teaching/ research assistant, dan beberapa perguruan tinggi top kita sudah menyediakan program seperti ini, terutama untuk ilmu alam atau engineering. Hanya, memang diperlukan penggalian informasi lebih lanjut untuk memperolehnya, namun dengan keuletan, maka informasi ini akan dengan mudah diperoleh.
Lalu poin bahwa terlalu lamanya pendidikan doktor dan jenjang menuju guru besar di tanah air juga tidak sepenuhnya benar. Pendidikan Tinggi kita sudah banyak menghasilkan doktor-doktor dalam usia muda, yang akhirnya mengabdi di berbagai instansi. Sementara, Indonesia pun juga sudah memiliki guru besar dalam usia muda. Sebut saja Prof Eko Prasodjo dari FISIP-UI, Prof Firmansyah dari FE-UI, Prof Ismunandar dari Kimia ITB, dan banyak lagi lainnya. Ketiga guru besar tersebut menjadi profesor di usia sebelum 40 tahun, dan menjadi guru besar karena kualitas kompetensi risetnya.
Mengenai poin, bahwa program pascasarjana hanya menjadi 'sapi perahan' dosen-dosen kita, hal ini jelas tidak benar. Sudah dijelaskan diatas, bahwa sudah ada program teaching/ research assistant di beberapa perguruan tinggi tanah air, jadi otomatis dosen PT kita pun mendapat imbalan dari kualitas risetnya. Jika memang ada biaya yang harus dibayarkan ke dosen untuk setiap kelas yang dihadiri pada kuliah pascasarjana, kalau boleh jujur komponen biaya tersebut masih jauhlah lebih rendah daripada seminar-seminar yang diadakan oleh motivator bisnis. Jadi mengungkit-ungkit hal tersebut jelaslah sangat berlebihan, dan memberi kesan bahwa 'dosen mengambil uang mahasiswa'.
Suatu hal yang tidak sepenuhnya benar, karena dosen tidak mendapatkan sebanyak yang dituduhkan. Jika adakan perbandingan, jangan bandingkan dengan imbalan dosen di LN, namun lakukan perbandingan dengan kondisi di lokal. Memang masalah uang adalah masalah peka, namun membesar-besarkan hal kecil jelas sangatlah tidak bijak. Tidak mungkin dosen di prodi apa pun menjadi kaya-raya, hanya dengan imbalan mengajar di pascasarjana. Jika ada dosen yang menjadi kaya-raya, itu bisa dipastikan karena yang bersangkutan menjadi konsultan di perusahaan atau industri, dan bukan karena 'mengambil uang mahasiswa'.
Poin terakhir, adalah mudahnya mencari pekerjaan akademis di luar negeri. Hal ini juga tidak sepenuhnya benar. Mark Taylor pernah menulis di Nature News, bahwa pendidikan doktor di LN juga mengalami krisis. Tidak hanya di Amerika Serikat, namun di seluruh negara industri maju. Menurut Taylor, krisis ini terjadi karena para doktor berbondong-bondong untuk melamar posisi 'tenure track' (posisi permanen) pada perguruan tinggi, yang akan diarahkan ke posisi guru besar.
Masalahnya, 'Tenure Track position' itu jumlahnya terlalu terbatas, dan jelas tidak semua pelamar akan diterima. Hal ini juga tak lepas dari spesialisasi pada program doktor, yang menyebabkan seorang doktor hanya bisa melakukan satu pekerjaan spesialis tertentu. Saran dari Taylor, jelas supaya program doktor lebih multi-disipliner, sehingga bisa fleksibel menerima berbagai macam pekerjaan. Juga perlu ditekankan, bahwa doktor tidak harus bekerja di akademik. Industri strategis kita pun juga memerlukan doktor, dan ini terbukti ada doktor-doktor yang bekerja di industri farmasi/ bioteknologi kita. Gagal bekerja di akademis, bukanlah berarti 'bodoh', namun bisa jadi berarti tempat lain menjanjikan rezeki yang lebih baik.
Apakah Cukup Kita Berteriak-teriak?
Ini satu hal yang sangat kurang ditekankan, yaitu membangun entrepreneurship. Selalu dikeluhkan, bahwa biaya pendidikan kita terlalu tinggi, dan sangat memberatkan. Nah, jika demikian, mengapa tidak kita giatkan entrepreneurship, supaya bisa menutupi biaya mahal tersebut? Banyak orang yang melakukannya, mereka berwiraswasta, dan sukses membiayai anak-anak mereka untuk kuliah di kampus-kampus terbaik di negeri kita. Alasan 'tidak semua orang berbakat wiraswasta' adalah alasan yang terlalu dicari-cari, dan pada dasarnya hanyalah pembenaran untuk tidak melakukan perubahan.
Bukalah mata, bahwa hanya dengan menggalakkan wirausahalah, maka itu memberikan solusi bagi masalah pendidikan kita. Saya berikan contoh, bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang saudagar. Jadi menjadi saudagar, jika semua untuk niat yang mulia, jelas bukan sesuatu yang salah. Apalagi jika niat tersebut untuk membantu anak kita sendiri sekolah setinggi mungkin. Paradigma, bahwa 'hanya orang matre saja yang menjadi pengusaha' haruslah dikikis, karena jelas ini sangat keliru. Nabi Muhammad SAW jelas sangat jauh dari sikap matre.
Tanpa banyak diketahui rekan-rekan di LN, sebenarnya birokrasi kita sudah mengalami reformasi habis-habisan. Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, namun rekrutmen PNS sudah mulai profesional, dan memperhatikan kompetensi. Oleh karena itu, dinas kita sudah diisi oleh pegawai yang lebih berkualitas, dan banyak yang sudah master atau doktor dari universitas yang bagus. Walau masih banyak kekurangan sana-sini, namun kondisinya sudah jauh lebih baik daripada 10 tahun yang lalu. Salah satu terobosoan yang mereka lakukan adalah kerja samadengan Jerman, dengan
program 'debt swap'. Program ini bertujuan mencetak 5.000 doktor kita di Universitas Jerman dalam waktu 10 tahun, dalam rangka meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita. Kedepannya, diharapkan program ini membuat universitas di Indonesia akan mampu memproduksi doktor-doktornya secara mandiri.
Kita juga memerlukan solusi politik. Daripada kita 'teriak-teriak' tanpa kasih solusi, ada baiknya kita mengawasi legislatif kita secara lebih baik, terutama pada komisi yang membawahi bidang pendidikan. Pengawasan itu bisa via LSM, lewat media/ pers, atau bisa juga dengan terjun langsung ke partai politik. Saya melihat, ada beberapa partai politik lokal yang bisa diteladani, karena mereka 'menerjunkan' doktor-doktor ke dunia politik, dalam rangka memperbaiki berbagai masalah dalam pendidikan kita. Hal ini tidak ada salahnya, dan sah-sah saja. Jerman bisa menjadi contoh, karena banyak yang berkualifikasi doktor, menjadi anggota parlemen (bundestag).
Bukan 'right or wrong, it's my country', atau sok menjadi nasionalis, namun hanya mencoba untuk obyektif. Pendidikan tinggi kita jelas memiliki banyak kekurangan. Namun menanggapinya dengan 'teriak-teriak', dan tidak memberi kontribusi positif untuk perbaikan, jelas tidak akan membantu apa pun. Di tengah semakin banyaknya keluhan dan celaan terhadap pendidikan tinggi kita, saya masih tetaplah optimis dengan dunia kampus kita, dan lebih memilih mencari solusi daripada 'teriak-teriak'. Saya percaya, jika kita semua bekerjasama untuk menyelesaikan berbagai masalah
ini, tanpa perlu 'teriak-teriak', maka ada harapan braindrain tersebut kita ubah menjadi braingain.
*) Arli Aditya Parikesit,M.Si adalah kandidat Doktor bidang Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; peneliti di Departemen Kimia UI; dan Vice Editor-in-chief Netsains.com. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_ap di twitter.
Optimistic with Homeland College Education
Arli Aditya Parikesit - detikNews
Jakarta - A few months ago, I discussed with a senior faculty member of a country's top universities are already very familiar with the condition of our education. According to him, our employment conditions are not as bad as imagined by some observers. There are still many Indonesian people, who even after getting gelardi developed countries, they are happy with choosing to return to the Fatherland. The reason they are so diverse, it is clear that they are much more like the working environment in the country, than in developed countries.
Factor is the challenge and risk, that is what they seek. They are not interested in the reliability of the developed countries, because there is no risk that can be 'tamed'. They want no risk and challenge, because that is all you'll catch them stepped forward.
Not surprisingly, after working many years at the company, they immediately go out and prepare your own business. An interesting fact, and could be a referral, amid appalling condition of braindrain abroad (LN). Can this reference be changed braindrain braingain like the example given is the senior lecturer?
Complaints About Higher Education
've Often heard many complaints about our system of higher education that directly compare with the system in LN, which is considered more superior in every respect. Starting from having to pay tuition / range fees are too high, Absence of programs teaching / research assistant as in LN, the length of time it takes a student to complete the doctoral program (age 30 has not been a doctor), the length of time it takes to be a great teacher (age 40 has not become a professor), Graduate Program is a 'cash cow' lecturer, and easy to find academic jobs in LN. Also various other complaints. The things that is the raison d'etre. However, whether all these complaints are in fact so?
About having to pay tuition / range fees are too high, this is a big question. Because so many scholarships available for the level of S1, S2, or S3. If we want to dig deeper, then the path in that direction we will be able to reach. For example S1 level, there are scholarships and other Supersemar. Level S2 there Supersemar scholarship. Meanwhile, there are scholarships to level S3 Habibie Center, for example.
Only, it is necessary 'extra oomph' is to get this scholarship. But see there are many students who can gain access to the scholarship-the scholarship, it seems there is no reason to be pessimistic. Students who can scholarship, not those who have connections or how, but ordinary people who are hard workers. The point is, they can, with effort even we all could get.
Then points on the absence of a program teaching / research assistant as in LN. Is this true? I explained before, makudnya program teaching / research assistant is a student receives S2 and S3 into an employment contract, which is usually given the workload of doing research or teaching. It is already very common in the LN, a graduate student in the LN is the status of contract workers. So, they do not need to think about the SPP or research costs, and stay working alone. But the question is, whether in Indonesia, there is absolutely no program like this? The answer is not so. Our country was also already have a program teaching / research assistant, and some of our top universities have already provided a program like this, especially for the natural sciences or engineering. Only, indeed necessary excavation more information to get it, but with perseverance, then this information will be easily obtained.
Then the points that are too long and the ladder toward doctoral education professor at the ground water is also not entirely correct. Higher Education we have a lot to produce doctors at a young age, who eventually served in various agencies. Meanwhile, Indonesia was also already have a great teacher at a young age. Call it Prof. Eko Prasodjo from FISIP-UI, Prof. Firman from FE-UI, Prof. of Chemistry Ismunandar ITB, and many others. These three major teacher was a professor at the age before 40 years, and became a great teacher because of the quality of his research competence.
Regarding the points, that the graduate program is only a 'cash cow' our lecturers, it is obviously not true. Already described above, that there is already teaching / research assistant at several universities homeland, so we were automatically lecturer Page rewarded from quality research. If indeed there is a cost to be paid to the lecturer for each class who attended the college graduate, I might honestly Far components that cost is still lower than the seminars held by business motivators. So bob up and down it is clear very excessive, and suggests that 'teachers take student money. "
One thing that is not entirely correct, because the lecturers do not get as much as alleged. If you invent a comparison, do not compare with the rewards lecturers in LN, but do the comparison with the local conditions. It's money problems are sensitive issues, but to exaggerate small things very clearly not wise. Prodi is not possible Lecturer in whatever became wealthy, only in exchange for teaching at the graduate. If there are lecturers who become wealthy, it can be ascertained as a consultant at the respective company or industry, and not because of 'taking the money of students'.
The last point, it is easy to find academic jobs overseas. It is also not entirely correct. Mark Taylor once wrote in Nature News, that doctoral education in the State are also in crisis. Not only in the United States, but in all advanced industrial countries. According to Taylor, this crisis happened because the doctors in droves to apply for positions 'tenure track' (permanent position) at the college, which will be directed to a position of great teachers.
The problem is, 'Tenure Track position' that there's too limited, and certainly not all applicants will be accepted. It is also not free of specialization in the doctoral program, leading to a doctoral degree can only do one job a particular specialist. Advice from Taylor, it is clear that the doctoral program is more multi-disciplinary, flexible so it can accept a variety of jobs. Also it should be emphasized, that the doctor does not have to work on academics. Strategic industry we also need a doctorate, and this proved to have doctors who worked in the pharmaceutical industry / biotechnology us. Failure to work in academia, does not mean 'stupid', but might mean other places promise a better livelihood.
Is Enough We Yelling and shouting?
It's one thing that is less stressed, ie to develop entrepreneurship. Always complained, that the cost of our education is too high, and very burdensome. Well, if so, why do not we giatkan entrepreneurship, in order to cover the cost of these expensive? Many people who do it, they are entrepreneurial, and successful finance their children to college on the best campuses in our country. The reason 'not everyone talented entrepreneur' is the reason that too sought after, and basically just a justification for not making changes.
Open your eyes, that only by encouraging wirausahalah, then it provides a solution to our educational problems. I give an example, that the Prophet Muhammad himself was a merchant. So a merchant, if all for a noble intention, certainly not something that is wrong. Moreover, if the intention is to help our own children as high school as possible. Paradigm, that 'only those who become entrepreneurs matre' must be scrapped, because obviously this is very wrong. Prophet Muhammad clearly very far from being matre.
Without the little-known counterparts in the LN, in fact we have experienced bureaucratic reform badly. Although there are still many shortcomings here and there, but the recruitment of civil servants have started a professional, and attention to competence. Therefore, our office has been filled by more qualified personnel, and many have master's or doctoral degree from a good university. Although there are still many shortcomings here and there, but his condition was much better than 10 years ago. One terobosoan they do is work equal to Germany, with program 'debt swap'. The program aims we printed 5,000 doctorate at the University of Germany in 10 years, in order to improve the quality of our universities. In the future, this program is expected to make a university in Indonesia will be able to produce doctoral-doctoral independently.
We also need a political solution. Instead we are 'screaming' without love a solution, it helps us control our legislature is better, especially on the commission that oversees education. Supervision can be via NGOs, through the media / press, or can also go directly to political parties. I see, there are some local political parties that could follow, because they are 'deployed' doctors into politics, in order to fix various problems in our education. This was not hurt, and legitimate. Germany can be an example, because many qualified doctors, a member of parliament (Bundestag).
Not 'right or wrong, it's my country', or pretentious to be nationalist, but just try to be objective. Our higher education clearly has many shortcomings. However responded with a 'screaming', and do not give a positive contribution to the improvement, it certainly will not help anything. Amid the increasing number of complaints and denunciation of our higher education, I still remain optimistic about the world of our campus, and prefers to find solutions rather than 'shouting'. I believe, if we all work together to solve various problems This, without the need to 'shout', then there is hope that we change braindrain become braingain.
*) Arli Aditya Parikesit, M. Si is a doctoral field of Bioinformatics from the University of Leipzig, Germany; researcher at the UI Chemistry Department, and Vice Editor-in-chief Netsains.com. He can be contacted through the twitter account @ arli_ap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar